Selasa, 10 Juni 2008

Tapol 007


Empat orang sahabat itu berangkulan. Selaksa rindu mengalir dari tangan-tangan yang diulurkan, dari pelukan yang dirapatkan, dari senyum yang dilepaskan dengan ikhlas. Cerita-cerita dari sebuah masa yang jauh pun kemudian luruh.

Tefaat Buru menjadi tema perbincangan mereka itu. Ini nama suatu tempat nun di Maluku--singkatan dari Tempat Pemanfaatan Buru untuk menyebut tempat pembuangan bagi para tahanan politik Pulau Buru. Mereka hanya segelintir dari sekitar 13 ribu orang yang ditahan tanpa pengadilan.

Para tahanan itu datang dalam beberapa gelombang sejak 1969 dan terakhir pulang pada 1979. Pulau Buru adalah pulau terbesar ketiga di Maluku. Kamp konsentrasi menempati sepertiga dari Pulau Buru.

Oey Hay Djoen kini ditopang sepotong tongkat. Usianya 77 tahun. Tapi suaranya masih lantang. Ingatannya pada masa lalu masih jernih. Oey adalah aktivis Lembaga Kebudayaan Rakyat dan anggota MPR/DPR GR dari Partai Komunis Indonesia. Ia dikarantina sejak 1969 sampai 1979. Ia menempati Unit 3 Wanayasa. Oey adalah tapol berbaju nomer 001.

Wartawan Amarzan Loebis dibuang ke pulau dengan ladang-ladang sagu dan bukit-bukit kayu putih itu pada 1971. Ia menempati Unit 16 dan bernomer 056. Amarzan dipercaya sebagai administratur unit dan dikenal sebagai Bapak Protokol lantaran selalu diminta menjadi pembawa acara.

Mulyono SH ditempatkan di Markas Komando (Mako) dan dipercaya mengurusi koperasi. Sedangkan Marsudi Sumanto adalah seorang dokter yang tinggal satu barak dengan Mulyono dan bernomer baju 594.

Empat sekawan itu mempercakapkan kisah haru biru semasa menghuni kamp perbudakan--begitu sebutan Oey pada Pulau Buru. Juga kisah karib mereka dengan seorang pujanggabegitu Amarzan menyebutyang baru saja wafat, 30 April lalu. Seorang pengarang yang telah menerbitkan 50-an buku yang telah diterjemahkan dalam 41 bahasa. Seorang penulis yang dalam beberapa tahun terakhir dicalonkan sebagai penerima Nobel Sastra. Sang sastrawan itu anggota rombongan pertama tapol yang beranggotakan 500 orang yang dibagi dalam 10 barak. Ia berseberangan tempat tidur dengan Oey di Unit 3 dan bernomer baju 007: Pramoedya Ananta Toer.

Pram bergabung dengan Lekra, sebuah organisasi kebudayaan yang punya hubungan erat dengan PKI, pada 1959. Pram kemudian mengasuh ruangan kebudayaan Lentera di Harian Bintang Timur, Jakarta, yang berhadap-hadapan dengan para penandatangan Manifes Kebudayaan. Ketika ditahan, rumahnya dirampas, perpustakaannya dijarah dan dibakar, delapan bukunya yang sedang ia tulis dibakar. Gempa politik 1965 telah memelantingkan Pram ke kamp kerja paksa itu. Sejarah hidup saya adalah sejarah perampasan, ucap Pram.

Pengarang kelahiran Blora, Jawa Tengah, 6 Februari 1925 itu pun bertahan di Buru dengan bekerja dan menulis. Sejak pukul 04.00 pagi hingga petang hari, tapol harus bekerja membuka hutan, menjadikannya sawah dan ladang, membangun jaringan irigasi, jalan, membudidayakan berbagai jenis hewan ternak. Hanya enam bulan pertama tapol diberi makan. Selebihnya, kata Amarzan, kami menghidupi diri sendiri dan menghidupi serdadu yang menjaga kami.

Pram, misalnya, aktif bertukang. Tapi ia sok mengerti bangunan, ucap Oey seraya tergelak. Pernah suatu kali, tutur Oey, Pram memboroskan bahan bangunan dengan nilai puluhan juta rupiah hanya dalam beberapa minggu.

Selain bertukang, Pram mengaku mengembangkan tanaman mangga dan menanam sendiri tembakau. Tapi tembakaunya kerasnya minta ampun, ucap Pram. Ia juga memelihara delapan ayam. Saya menjual ayam dan telurnya untuk membeli kertas dan rokok, kata Pram dalam wawancara dengan Tempo pada Mei 1999.

Kertas-kertas berukuran kuarto itu selain didapat dari menjual telur ke Namlea, ibukota Pulau Buru, juga diperoleh dari uluran teman-temannya. Mulyono menceritakan, ia selalu menyisihkan jatah kertas dan karbon milik tentara yang ada di koperasi yang ia kelola untuk Pram. Ini tindakan berbahaya.

Hersri Setiawan, kawan lain Pram, yang menghabiskan 8,5 tahun hidupnya di Buru menuturkan, sebelum Panglima Komando Pengamanan dan Ketertiban Jenderal Soemitro berkunjung pada 1973, kertas dan alat tulis menjadi barang terlarang. Munajid, seorang tapol asal Jawa Barat, misalnya, ketahuan membaca surat kabar. Ia pun disiksa sampai mati.

Soemitro membebaskan para tapol seniman untuk berkreasi. Amarzan dan Mulyono pun menyelenggarakan pentas ludruk. Pram juga mendapat privilege menulis. Menurut Hersri, kertas yang digunakan Pram adalah kertas bungkus semen yang disumbang oleh teman-temannya sesama tapol.

Dari mana Pram mendapatkan mesin ketik? Sastrawan terkenal Prancis Jean-Paul Sartre kabarnya menyumbang mesin ketik untuk Pram. Oey mengaku masih menyimpan surat Sartre yang ditujukan kepada pemerintah saat itu dan ditembuskan kepada Pram. Sastre menuntut pembebasan Pram sembari memberi hadiah mesin ketik. Tapi Oey ragu apakah mesin ketik yang dipakai Pram adalah mesin ketik dari Sartre atau sudah diganti mesin lain.

Dari mesin ketik inilah, kata Oey, lahir delapan karya Pram: Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Rumah Kaca, Jejak Langkah, Sang Pemula, Arok Dedes, Mangir, dan Arus Balik. Sementara Max Lane, penerjemah awal buku-buku Pram ke dalam bahasa Inggris tak memasukkan Sang Pemula, tapi menambahkan Mata Pusaran yang sampai kini naskahnya belum diketemukan.

Naskah-naskah itu diketik rangkap tujuh, satu diserahkan ke penjaga, sisanya diedarkan kepada teman-temannya termasuk Oey, Mulyono, dr Marsudi, dan Amarzan. Kopian naskah diedarkan di 14 unit desa tapol di Pulau Buru.

Meski bebas menulis, Pram tak diperbolehkan mempublikasikan di luar kamp. Ia membangkang dengan cara menyelundupkan melalui seorang pengemudi kapal yang membawa bahan makanan atau kayu antarpulau di sekitar Pulau Buru. Dari situ, naskahnya diserahkan ke gereja Katolik di Namlea untuk diselamatkan. Jadi, naskah itu diselundupkan secara bergelombang, dan berbentuk lembaran-lembaran kertas. Sewaktu saya keluar dari Pulau Buru, semua kertas dirampas oleh Angkatan Darat, Pram mengungkapkan.

Cerita pembangkangan yang sama dilakukan ketika pemerintah melarang Hasta Mitrayang didirikan oleh Joesoef Isak, Hasyim Rahman, dan Prammenerbitkan karya-karya Pram. Joesoef mensiasati penerbitan pada hari Jumat, karena pada Sabtu dan Minggu, Kejaksaan Agung libur. Jika mereka ditegur, mereka memintanya dalam perintah tertulis, sementara penjualan terus dilanjutkan. Jika pelarangan tertulis telah mereka dapatkan, Hasta Mitra pun menyelundupkan buku-buku Pram ke luar negeri. Buku Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, misalnya, diterbitkan dulu di Belanda dan baru diterbitkan di Indonesia saat Pram berusia 70 tahun, karena dianggap terlalu berbahaya, kata Joesoef,

Joesoef adalah tapol yang masuk golongan A. Golongan ini dianggap berbahaya dan direncanakan dibawa ke pengadilan karena cukup bukti. Golongan B golongan berbahaya tapi tidak cukup bukti untuk diseret ke pengadilan. Golongan B dibuang ke Buru. Saya beruntung, belum sempat diadili sudah ada tekanan internasional kepada Soeharto agar menyelesaikan masalah tahanan politik, ucap Joesoef.

Menurut Oey, pada tahun-tahun awal di Buru, Pram belum menuliskan kisah-kisahnya. Ia hanya menuturkannya secara lisan kepada teman-temannya di barak I setiap sore sepulang bekerja. Pram duduk di amben dan dikelilingi kawan-kawannya. Mula-mula hanya teman satu barak, tapi semakin hari kisah-kisahnya didengar oleh semakin banyak tapol. Cerita yang dia tuturkan sepenuhnya mengandalkan ingatan, dan kata Oey, "Persis seperti yang tertulis dalam buku."

Setiap mengakhiri cerita, Pram meminta komentar dari pendengarnya. Belakangan "dongeng" Pram dan interaksinya dengan kawan-kawannya itu diketahui sebagai cara untuk membangkitkan semangat hidup para tapol.

Pram menceritakan, waktu itu keadaan sedang genting karena ada 11 tahanan politik dibunuh. Karena keadaan yang mencekam itu, saya bercerita untuk mengendurkan ketegangan dan juga untuk menunjukkan: lihat Nyai Ontosoroh, dia perempuan, seorang diri melawan kekuasaan kolonial. Kalian lelaki, masa musibah begitu saja bisa turun morilnya. Dan ternyata berhasil. Nyai Ontosoroh adalah tokoh dalam novel Bumi Manusia.

Setelah periode "sastra lisan", Pram menggambar komik, sebelum akhirnya Soemitro memperbolehkannya menulis. Amarzan ingat betul Pram menyusun semacam komik tentang masuknya agama Hindu Hinayana ke Tanah Jawa, Oroh Sanagara namanya. Entah ada di mana naskah itu sekarang.

Amarzan juga ingat suatu kali ia bercerita kepada Pram bahwa kepala adat di Pulau Buru menyimpan buku dari lembaran-lembaran tembaga dan menyimpannya dalam bumbungan bambu. Buku itu ditulis dalam bahasa yang tak dikenali para tapol. Mendengar cerita itu, secara spontan Pram berseru, "Curi saja! Itu milik nasional." Ide gila Pram itu tentu saja tak ditanggapi.

Mulyono juga menuturkan Pram kerap mengail ide dari penduduk Buru. Ia antara lain bertemu dengan beberapa guru sejarah yang ada di sana untuk mencocokkan pengetahuan tentang sejarah Majapahit dan Singasari. Guru-guru itulah yang memasok bahan pada Pram saat menulis Arus Balik dan Arok Dedes.

Sedangkan dalam tetralogi Buru, Pram memperoleh data jauh sebelum ia ditahan di Buru. Ketika ia mengajar di Universitas Res Publica (sekarang Universitas Trisakti) antara 1962-1965, ia memberi tugas pada setiap mahasiswa untuk mempelajari koran selama satu tahun, lalu membuat naskah kerja. Dari tugas-tugas mahasiswanyalah Pram mendapat sumber-sumber historis. Ia mengingat setiap detail sebelum menuangkannya menjadi sastra lisan.

Kehidupan di kamp pengasingan itu digambarkan Amarzan sebagai kehidupan yang pedih. Tapi dengan menulis dan bekerja, kata Marsudi, "Pram memberi teladan bagaimana bertahan dalam penderitaan."

Dokter yang menangani penyakit diabetes Pram itu mencontohkan bagaimana di tanah pembuangan, Pram melalui surat-suratnya, masih memberi semangat pada istri dan anak-anaknya yang ditinggalkan. Marsudi tak tahu apakah surat-surat Pram itu dikirimkan oleh penguasa teritori Buru. Tapi suatu kali ia pernah membaca sebuah surat Pram yang tergeletak di meja seorang jaksa di Buru yang ditujukan kepada Astuti Ananta Toer, anaknya. Isinya tentang ayah Astuti yang pasti akan pulang dan menceritakan sejumlah perubahan yang akan terjadi jika ia pulang.

Selain menerima surat dari Sartre, Pram juga menerima surat dari Presiden Soeharto yang sangat ia benci. Tapi uniknya, kata Amarzan, Pram menjawab surat Soeharto itu dalam nada yang santun.

Paradoks ini juga terjadi dalam hubungannya dengan HB Jassin. Bagi Pram, Jassin adalah guru yang mengajarkan nilai-nilai humanisme universal. Tapi lantaran Jassin tak bereaksi ketika 1,5 juta orang digelandang sebagai tapol, Pram menjauh dari Jassin. Ia bahkan tak mau menengok Jassin ketika sakit.

Surat menyurat Jassin-Pram, menurut Mujib Hermani dari Penerbit Lentera Dipantara, dapat dibagi menjadi beberapa periode: ketika Pram menganggap Jassin sebagai guru, periode Pram menganggap Jassin sebagai teman, dan periode Pram yang berseberangan dengan Jassin. Yang agak lucu, ada surat-menyurat keduanya yang menyangkut bisnis. Pram dan Jassin ternyata pernah mau berbisnis timah. Jassin membawa sampel timah ke Pram, Pram yang mencari pembelinya, kata Mujib yang berniat menerbitkan surat-menyurat keduanya.

Kawan lain yang tak terlupakan bagi Pram adalah Ramadhan KH. Ajip Rosidi dalam buku Mengenang Ramadhan KH Sebagai Sahabat, menulis Pram yang sangat individualis menganggap pengarang Priangan Si Jelita itu sebagai sahabat. Salah satu sebabnya, ketika Pram menikah dengan Maemunah Thamrin, Pram tak punya uang di sakunya. Ketika Pram hendak membayar mahar, ia meraba-raba sakunya yang kosong. Ramadhan pun mengambil dompetnya sendiri sambil berkata, Ini dompetmu Pram, tadi terjatuh di mobil.

Pram mengakui kejadian itu dalam surat kepada anaknya yang dimuat dalam Nyanyi Sunyi Seorang Bisu (1995). Tapi Pram menyebut, ia meraba-raba saku yang tak ada uangnya itu karena harus membayar buku nasihat pernikahan karangan Nazaruddin Latief.

Kawan lain yang kocak adalah pelukis Djoko Pekik. Ketika bertemu, Djoko menceritakan, mereka saling pamer harta. Sang pelukis yang juga pernah ditahan membanggakan ratusan ternak, mobil Peugeot 206, dan bus bergambar celeng yang diberi judul Pengkhianat Revolusi. Tak mau kalah, Pram membeberkan cerita tentang rumah bertingkat enam miliknya yang dibangun di tengah kebun di Bojong Gede, Bogor. "Ini untuk menunjukkan kemampuan saya kepada Orde Baru," kata Pram.

"Pamer kekayaan itu adalah bagian dari guyonan kami. Wong dia itu sudah kaya sejak dulu kok, kata pelukis Djoko Pekik. Adu pamer itu mungkin akan bertambah seru bila Djoko mengetahui bahwa Pram telah menjual hak memfilmkan Bumi Manusia pada sebuah rumah produksi sebesar Rp 1,5 miliar.

Berbagai gambaran Pram itu menunjukkan bahwa sosok yang penuh kontroversi itu punya cerita berwarna. Ia dikecam sekaligus dipuja. Ia dikurung, tapi karyanya terbang bebas. Ia mendapat banyak penghargaan internasional, tapi pada saat yang sama miskin penghargaan di negeri sendiri. Ia membenci, tapi sekaligus santun. Ia menghardik, tapi sekaligus menyapa.

Pram membenci wayang yang mengkultuskan figur, tapi memuja Soekarno. Ia anti-imperialisme dan anti-kapitalisme, tapi tidak anti pinjaman luar negeri. Ia gampang menyadari kesalahan, tapi sekaligus sulit meminta maaf. Ia manusia biasa yang penuh kekurangan, kata Oey.

Sebagai manusia biasa pula, Pram di saat sengit mempertahankan ide-idenya bisa tiba-tiba berubah lunak mengajak bicara soal obat kuat, misalnya. Amarzan menceritakan, suatu kali Pram mendatanginya sembari bertanya, "Ada obat kuat model baru?" Amarzan pun menjawab sekenanya.

Oey pun menuturkan, saat pulang dari Amerika pada 1999 lalu, Pram ternyata juga membawa viagra. Beberapa hari kemudian Pram menelponnya dan memintanya menjual kembali viagra dari Amerika itu. "Mungkin tak manjur, maklumlah Pram kan punya gula darah yang tinggi," ucap Oey.

Gula darah, penyakit jantung, dan belakangan sakit ginjal menggempur tubuhnya. Sebulan sebelum meninggal Pram pun mengeluh pada Oey. Ia merasa kesepian dan tak pernah lagi dikunjungi kawan-kawannya.

Namun, Pram pergi di tengah puluhan kawan yang menjenguknya. Tak seperti Minke, tokoh dalam tetralogi Buru, yang cuma diantar oleh enam pelayat ke pekuburan Karet, Pram berangkat diantar ratusan pelayat yang hiruk menyanyikan lagu-lagu mars, di Karet. Dalam Rumah Kaca, ia berucap: Semua akan bertemu dalam alam mati, tidak peduli raja tidak peduli budaknya. Betapa sederhananya mati

Yos Rizal Suriaji

Tidak ada komentar: