Kamis, 26 Juni 2008

BUKU KARYA DAN TERJEMAHAN OEY HAY DJOEN DAPAT DIPESAN DI 0811 86 11 85

Peringatan 40 Hari Wafatnya Oey Hay Djoen




Kamis, 26 Juni 2008, bertempat tinggal di kediaman Oey Hay Djoen, Cibubur diselenggarakan peringatan 40 hari wafatnya kawan Oey. Acara diselenggarakan menjelang setengah delapan malam itu dihadiri saudara, kerabat, anak, cucu dan istri tercinta Oey Hay Djoen, Jean. Walau sederhana, peringatan Oey Haya Djoen berjalan hikmat dan penuh keharuan.

Didahului dengan pemutaran Essay Video ”Kepada Si Bung” yang berdurasi 25 menit, diharapkan menjadikan utuh pemahaman kita tentang tokoh yang satu ini. Dengan suasana haru, diselimgi pembacaan puisi, acara dilanjutkan dengan acara kebaktian dan pemberkatan sebuah monumen kecil ”Goa Maria.”

Sayangnya, Goa Maria, yang menjadi amanat Oey tak sempat dinikmati oleh si bung. Sahabat dekatnya Tumiso dan anak cucu menempatkan Goa Maria, tepat di halaman belakang, tidak jauh dari ruang kerja dan perpusatakaan Oey Hay Djoen.

Menjelang pukul sepuluh malam, acara 40 hari Oey Hay Djoen berakhir. Kita semua mengenang kawan Oey sebagai pribadi secara lengkap. Semoga, tauladan baik, kita petik hikmahnya dari perjalanan si bung.

SELAMAT JALAN SAHABAT


(Mengenang Bung Oey Hay Djoen)
Oleh : EZ Halim


Kita hanya dua kali bersua berbagi cerita
Di rumahku
Dan di rumahmu
Lantas engkau pergi begitu tiba-tiba

Andai takdir dapat diubah
Perjalanan kita akan lebih bermakna

Lukisan Resobowo yang engkau titipkan
Adalah saksi persahabatan kita
Kanvas yang mengenang Rivai beserta sajaknya
Tugu, lilin dan tangan mengepal
Ini adalah simbol sikap hidupmu
Tegar berjuang berbagi cahaya
Jejak langkahmu bakal dikenang
Karya bakti,u bakal dibaca

Ladang yang engkau retas
Kini telah berbenih tunas
Harkat yang engaku rajut
Membuat kita paham hidup bermartabat

Jalan hidupmu adalah bait-bait puisi dalam prosa
Ada luka tapi indah
Ada di Buru tapi tidak membeku

Selamat jalan sahabatku
Engkau tidak perlu gelisah dan pilu
Ini awal ziarahmu yang panjang dan indah
Di sisni ada generasi muda yang mewarisi semangatmu yang membara

Sentul City, 26 Juni 2008

Senin, 23 Juni 2008

Oey Hay Djoen Telah Pergi


Oey Hay Djoen, seorang intelektual yang dikenal sebagai penerjemah buku-buku kiri telah meninggal dunia Minggu, 18 Mei 2008, pukul 00:00 WIB di Rumah Sakit St.Carolous, Jakarta. Sebelum meningal dunia, Oey Hay Djoen menderita serangan jantung.

Kontribusinya terhadap dunia pustaka (buku) cukup besar. Kita bisa mendapat referensi buku-buku karya pemikir dunia berbahasa Indonesia berkat terjemahan Oey. Secara khusus Oey menerjemahkan buku-buku yang ditulis oleh pemikir kritis seperti Karl Marx, Frederick Engels, G.V. Plekhanov, N.G. Chernyschevsky dan Rosa Luxemburg.

Lebih dari 30 buku karya pemikir-pemikir sosialis dunia sudah ia terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

Oey Hay Djoen lahir di Malang, 18 April 1929. Dia bergabung dengan Partai Komunis Indonesia dan sempat duduk di parlemen tahun 1950-an, mewakili partainya. Aktivitasnya di Lembaga Kebudayaan Rakyat atau Lekra juga menduduki posisi penting dalam jajaran pimpinan pusat. Saat terjadi tragedi pembantaian tahun 1965, dia dibuang ke Pulau Buru. Dia menyandang status tahanan politik nomor 001. Tahun 1979 dia bebas.

Partai Kebangkitan Bangsa pernah menganugerahkan Gusdur Award kepada Oey sebagai salah satu Tokoh Kebangsaan. Dia tak sendiri. Beberapa orang juga memperoleh penghargaan sama. Mereka antara lain, LB Moerdani (Mantan Menteri Pertahan dan Keamanan), Harry Tjan Silalahi (peneliti CSIS), Ken Sudarta (pencipta atribut PKB), Alfred Simanjuntak (pencipta lagu mars PKB) dan Jacob Oetama (pemimpin umum harian Kompas).

“Dia salah satu orang Indonesia yang punya kehendak luhur bagi kehidupan manusia,” ujar Samsir Mohamad, mantan anggota Konstituate dari Fraksi Proklamasi. Samsir juga pernah mendekam di Pulau Buru. Bagi Samsir, Oey adalah teman berdebat yang asik, kawan bertengkar yang menyenangkan.

“Kau kuingat selalu, Djoen,” kata Samsir menyebutnya dengan panggilan akrab.

Bilven, seorang pengelola penerbit buku Ultimus di Bandung memiliki kesan mendalam terhadap Oey saat pertama kali mengenalnya. Saat Ultimus berdiri tahun 2004, Oey Hay Djeon menelpon Bilven.

“Saya dengar dari seorang kawan di Eropa, Ultimus menjual buku-buku kiri dengan diskon besar. Ini ada buku-buku terbitan Hasta Mirta. Mau gak jual? “ ungkap Oey. Bilven mengisahkannya kembali.

Sejak saat itulah perkawanan antara mereka terjalin akrab.

“Dia orang yang sampai usia 79 tahun, masih bersemangat, gigih dan optimis akan hari depan, termasuk kepada generasi-generasi selanjutnya,” kata Bilven.

Bahkan hingga akhir hidupnya, dia masih menerjemahkan buku sekalipun produktivitasnya mulai menurun. Dari 30 lembar sehari, belakangan hanya 10 lembar saja setiap harinya.

Ultimus sudah menerbitkan 4 buku hasil terjemahannya, yaitu Hubungan Estetik Seni dengan Realitas karya Chernyshevsky, Seni dan Kehidupan Sosial karya G.V Plekhanov, Anarkisme dan Sosialisme karya G.V Plekhanov dan Tentang Kapital Marx karya Frederick Engels. Ada 4 buku lainnya yang sedang diterbitlkan.

Kontak terakhir Bilven dengan Oey Hay Djoen terjadi pada 15 Mei 2008. Ia menyampaikan soal rencananya berkunjung ke Bandung.

Ted Sprague, administrator Marxists Internet Archive seksi Bahasa Indonesia mengatakan, “Walaupun saya tidak pernah bertemu dan berbincang langsung dengan bung Oey, tetapi bung Oey telah sangat baik hati memberikan ijin kepada saya untuk memuat semua karya terjemahan dia ke Marxists Internet Archive seksi Bahasa Indonesia. Tidak peduli akan hak cipta dan kepemilikan terjemahan, tujuan bung Oey hanya satu: menyebarkan ide Marx seluas mungkin,” ujarnya dalam sebuah perbincangan melalui pesan singkat di internet.

“Sedih saya karena tidak sempat bertemu langsung dengannya dan mengucapkan terima kasih atas semua sumbangannya,” ungkapnya.

Selamat jalan om Oey.

Jumat, 13 Juni 2008

Kamis, 12 Juni 2008

IN MEMORIAM OEY HAY DJOEN


Beberapa hari yang lalu Indonesia kehilangan empat orang tokoh yakni Sophan Sophian, Oey Hay Djoen (OHD), SK Trimurti dan Ali Sadikin. Pemberitaan di media massa cetak dan elektronik sangat gencar tentang tiga orang. Namun sampai hari ini setahu saya, tidak satu pun media massa yang mengenang OHD bahkan menyebut namanya pun tidak. OHD memperoleh Gus Dur Award tahun 2007 karena berjasa antara lain menerjemahkan karya besar Karl Marx, Das Kapital ke dalam bahasa Indonesia.

Tulisan Hilmar Farid (HF) yang disiarkan melalui internet mungkin satu-satunya tulisan yang agak panjang tentang OHD. Banyak informasi yang belum saya ketahui tentang OHD yang saya peroleh dari in memoriam tersebut. Saya berterima kasih atas terbitnya tulisan HF tersebut, karena penerbitannya merupakan upaya (walau terbatas) untuk melawan diskriminasi yang dilakukan pers nasional. Kalau dikirimkan ke media massa saya yakin tulisan itu tidak akan termuat (dengan berbagai pertimbangan termasuk ketakutan redaksi).

Saya percaya bahwa PKI sebagai organisasi tidak terlibat dalam G30S. Namun saya juga mendukung kesimpulan BK yang disampaikan dalam pidato Pelengkap Nawaksara (tentang keblingernya pimpinan PKI). Kita tentu boleh berbeda pendapat mengenai hal ini. Mengenai ungkapan "PKI, Raksasa Berkaki Lempung" yang dikemukakan oleh Jacques Leclerc dan dikutip oleh HF saya tidak memiliki ilmu dan informasi yang cukup. .
Sebab itu saya lebih senang sebetulnya membicarakan hal-hal yang kecil-kecil saja. Minggu pagi 18 mei 2008 saya ke Cibubur melayat OHD. Sebulannya sebelumnya (tanggal 12 April) saya juga datang ke rumah ini untuk acara "Makan Siang bersama Gus Dur" yang diadakan OHD sebagai ucapan terima kasih atas penghargaan "Gus Dur Award 2007".

OHD berada dalam peti mati dengan pakaian dan benda-benda kesayangannya. Ia berpakaian hitam-hitam, wajahnya tampak bersih dan teduh. Busana yang dikenakannya seperti busana mandarin China (tolong dikoreksi kalau saya keliru). Di bagian atas kepala terdapat dua buah topi cowboy. Mungkin ia ingin menghadap Thian dengan berpenampilan perpaduan Timur-Barat.

Saya pertama kali melihat OHD memakai topi cowboy ini dalam acara pernikahan Amirudin, seorang peneliti ELSAM. Setelah itu juga pernah beberapa kali. Mungkin ada yang bisa cerita tentang topi cowboy ini,sejak kapan dan kenapa OHD senang dengan ikon western ini.

Mungkin bagi mereka yang tinggal di Eropa tidak menjadi soal atau tidak pusing mengenai ini, walaupun bagi orang yang bermukim di tanah air ini bisa mencuri perhatian. Ada dua orang rekan saya (Emmanuel Subangun dan yang lebih belakangan, Muridan Widjojo) yang pulang dari Eropa ke Indonesia dengan membawa dua hal (gelar Doktor dan topi detektif yang dipakai ke mana saja). Saya sudah lama kenal Tossi wartawan radio Netherland melalui email. Ketika pertama bertemu di Jakarta dalam acara peluncuran buku Onghokham beberapa waktu yang lalu, ternyata ia juga selalu memakai topi ala detektif. Pembimbing saya di Perancis, Denys Lombard (seorang sejarawan bukan kiri) gemar sekali di musim dingin, memakai topi ala Rusia yang dibelinya di Moskow.

Mulutmu harimaumu, demikian kata pepatah lama. Ucapan dan tulisan kita menunjukkan kepribadian kita. Tetapi apakah kita mengetahui lebih dalam tentang pribadi seseorang melalui topi?

Oey Hay Djoen (1929-2008)





I had no idea the short telephone conversation on the morning of 17 May would be the last time I ever spoke with him. Just a few hours later, Oom Oey, as I called him, collapsed at home and was rushed – in so far as Jakarta’s traffic allowed – to hospital, where he drew his last breath just twelve hours later. ‘If you are ready to go, then go, but not on a Saturday,’ his wife Jane Luyke whispered in his ear. (There is an old belief that someone who dies on a Saturday is likely to take a companion from those close to them.) I do not know if people can control the time of their departure from this world, but it was a few minutes after midnight, on a Sunday, when Oom Oey breathed his last.

Oey Hay Djoen was born in Malang on 18 April 1929. His father died when he was nine years old, and he was raised under the firm but liberal hand of his mother, in a family that sent him to a Catholic school but still burned incense for their ancestors at the family altar. Early on he developed a love of reading, and through reading he was introduced to the world of politics. When Japan surrendered, and independence was proclaimed, politics became part of his life. At the young age of 17, he was accepted as a student at Marx House in Yogyakarta, an event which he said changed his life. There he listened to talks and engaged in discussion with Republican leaders like Sjahrir, Alimin, Amir Sjarifuddin, Setiadjit and Maruto Darusman. He joined the Socialist Party, the largest block in the leftwing movement at the time, and began translating some of the classical socialist literature from English, being already fluent in Dutch and English as a result of his Catholic schooling in Malang.

He was known for the strength of his convictions, his straightforwardness and honesty

Soon he was in the thick of the revolutionary struggle, through involvement in the trade union movement and urban guerilla activity in south Malang. He built underground networks, bought weapons from disaffected Dutch conscript soldiers, and got to know prominent Chinese Indonesian nationalists, like Siauw Giok Tjhan and Go Gien Tjwan. He was arrested and imprisoned by the Dutch, but escaped with the help of some of his comrades, before running up against the effects of the so-called Madiun Affair of September 1948. In the wake of the execution of some of the leftist leaders who had nurtured him, the arrest of others and the disappearance underground of those who were left, Oey confessed to having ‘lost direction’ and ‘gone out of control’. He was not yet 20 years old.

Oey got his life back on track through the chance to work as manager of the publishing firm Sin Tit Po in Surabaya, editing the magazine Republik with Siauw Giok Tjhan and Ismoyo. In August 1951, Njoto, one of the five leaders of the newly re-formed Indonesian Communist Party (PKI), fled to Surabaya to escape pursuit by the military. He stayed in Oey’s house, and engaged the young man in discussion about everything from economics to classical music, soccer to Marxist theory. In Oom Oey’s recollections, it was this encounter with Njoto that helped him find himself and give some direction to his life. Njoto put him in touch with local kampung performance troupes (ludruk) as well as Jakarta-based writers and artists. He became good friends with AS Dharta, who later became Secretary General of the leftwing cultural organisation Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA).

...figures like the head of the PKI, DN Aidit, became regular visitors

Soon Oey was once more active in cultural politics, mixing on a regular basis with leftwing artists and intellectuals. By 1953, he was based in Central Java, but publishing in the PKI national newspaper Harian Rakjat, and interacting with prominent names in leftwing cultural circles, people like the literary critic Bujung Saleh, the writers Pramoedya Ananta Toer, Rivai Apin, and Dodong Djiwapradja and the painter Hendra Gunawan. He also became a successful businessman, one of the leaders of the federation of Indonesian cigarette manufacturers (Gaperon), and developed a reputation as a businessman with a strong sense of social commitment, who used his wealth for the benefit of others. He became a member of the Constitutional Assembly and later the national parliament for the Communist Party, an indication of the PKI’s accommodation of Indonesians from all class backgrounds.

After his marriage to Jane Luyke in April 1954, and the birth of their second child in 1956, Oey and his family moved permanently to Jakarta. His house in central Jakarta became LEKRA’s central office, and figures like the head of the PKI, DN Aidit, became regular visitors. The LEKRA leadership gathered there once a week for meetings, and with a wide variety of ethnicities all represented, cultural clashes were not uncommon. Oey recalled how he was once jokingly reprimanded by Aidit for his signs of deference towards speakers who were older than himself, something that came from his Chinese heritage. ‘What’s all this bowing and scraping?’ Aidit quipped. ‘Is that feudalism, or what?’

At the first national congress of LEKRA in Solo in 1959, Oey was elected a member of the organisation’s central secretariat. With his background in journalism and publishing, he soon became head of LEKRA’s publishing division. He translated classic texts like Che Guevara’s Guerilla Warfare into Indonesian, and kept up a steady stream of original publications in the cultural pages of Harian Rakjat. Friends remembered him as a dedicated and effective organiser.

Then came the catastrophe of October 1965. Like thousands of others, Oey Hay Djoen was arrested and imprisoned because of his leftwing connections. Initially detained in Jakarta and the prison island of Nusakambangan, he was one of the first group of political prisoners to be transported to Buru, wearing the number 001 and leaving Jakarta on 17 August 1969.

In Buru, Oey was grouped alongside Pramoedya Ananta Toer and Rivai Apin in Unit III, the ‘diehards’ unit, whose members the military authorities kept separated from the other prisoners. Throughout his imprisonment, he kept up the non-cooperative stance of the prisoners the Dutch had incarcerated in Boven Digul, 40 years before. He continued to read and engage in intellectual work, translating among other things Plato’s Republic and a guide to acupuncture by Felix Mann, founder of the Medical Acupuncture Society. But at the same time, as his fellow prisoner Hersri Setiawan recalled, the urban businessman Oey was also the winner of a competition for planting out new ricefields. He was one of the last group of prisoners to be released from Buru, 14 years after he was first arrested.

Once back in Jakarta, Oey threw himself back into writing and publishing, in defiance of the military’s attempts to keep former political prisoners isolated from the rest of society. He was a regular participant in activist meetings, seminars and discussions, always unafraid to offer criticism when he felt it necessary and praise where he thought it was deserved. He was known for the strength of his convictions, his straightforwardness and honesty. Among other things he was a fierce critic of NGOs and their dependence on donor organisations, when they should be setting their own agendas.

Mixing with younger activists...made him aware of the importance of translation

It wasn’t all just talk, either. When the riots hit Jakarta in May 1998, Oom Oey and his family were active members of the Volunteer Team for Humanity (Tim Relawan untuk Kemanusiaan), continuing the work they had begun in 1997 in support of the those suffering in the wake of the financial crisis. In 1998, he made use of all his networks, both inside Indonesia and abroad, in support of the victims of sectarian violence. ‘This is today’s reality,’ he explained, ‘We have to be able to respond to it.’

Mixing with younger activists at this time made him aware of the importance of continuing the work of translation. Highly critical of the taste for quoting without ever having read the sources of the quotations, he translated tens of thousands of pages of texts of philosophy, history, political economy and social movements. Almost all of it was the classic works of Marx and Engels, along with a few key texts of Rosa Luxemburg and Plekhanov. I asked him once why he hadn’t translated Lenin. ‘Lenin is too prescriptive. He’s always telling us what to do, whereas what we need is the strength of critique. That’s what you find in Marx and Engels.’ Yet with all of this, his own thinking never stood still. ‘Change is the only thing that’s eternal,’ he once said to me.

He was always there for friends who were losing their energy and enthusiasm

What shone through everything was the sincerity of his friendship. He was always there for friends who were losing their energy and enthusiasm in the face of the mountains of problems they had to overcome. ‘We can’t do everything. There are limits to our capacity. The important thing is how to organise the limited capacity we have.’ He liked to repeat the words of Njoto, his friend and mentor: ‘It’s like throwing pebbles into a pond. If you toss a handful in at once you just get confusion. But if you throw just one pebble into the middle of the pond, its ripples will span out right to the edge.’

For me, Oom Oey is that pebble. His ripples will be with us for generations to come. ii

Hilmar Farid (hilmar_farid@yahoo.de ) is a writer and historian based in Jakarta.

Between Revolution Stronghold and Laboratory of the West:


By ANTARIKSA



Yogyakarta is the principal art center in Java during the 1950s. In Claire Holt’s report, Art in Indonesia (1968), she states that there were a total of seventy-four registered art-related organizations in Yogyakarta in 1955. Of that number, fourteen were general groups –and this included student founded organizations with common ethnic backgrounds, seventeen dancing clubs, sixteen music clubs, twelve drama clubs and seven fine art clubs. These organizations dealt with traditional or modern art forms. In addition to these organizations, campus-based student bodies had not been idle in their respective colleges. Overall, it is estimated that two-thirds to three-quarters of Java’s painters lived in Yogyakarta.

Hersri Setiawan, former Secretary General of LEKRA (Lembaga Kebudayaan Rakyat, People’s Culture Organization) Central Java, vividly captured the artist’s world of that time in his unpublished writings Tembang Turba. “In the early 50’s, numerous budding “artists” and “men of letters” would declare themselves “artists” after trying their hand at sketching self-portraits or composing verses about moonlight or love. The attributes of a typical liberal artist’s look would included shaggy, unwashed long hair, dressing in nothing but rags, patched here and there. The artists were not too fond of taking a shower either, because water and soap, so they say, killed inspiration. They would trawl through the city in search of glimmering inspirations amidst the debauched darkness of the city square. Deceive and steal, they would say, like Chairil [1] ”.

Hersri spoke about Yogyakarta’s transformation from a political center to a cultural center along with its genuine as well as fake extremists. “I don’t know about other cities, but that was what became of Yogyakarta then. This is due to the influence of the artist’s bohemian wave in ’45 as well as Yogya’s history as the Revolution Capital. Ever since the central government office moved back to Jakarta, Yogya had lost its status as ‘political center’ but gained its title as the ‘campus town’ and ‘the center of national culture’, inheriting with it the good and bad remnants from the extremities of the war for independence. During the later half of 1940s, Yogya, as the Revolution Capital, was swarmed with refugees from all across the nation who felt the threat of a common enemy. Day and night, the ‘extremists’ --NICA’s term for youth guerillas, the supporters of the new republic, were seen in every corner of the city. NICA’s definition of ‘extremists’ pointed at those who violated the rust en orde (security and order) they had imposed on the people, while the laymen’s definition of the same word merely described their physical attribute: unshaven, long haired, mustached men, carrying cartridge rounds and hand grenades wherever they went. Of course, there were the fakes among the true extremists who struggled for the nation’s cause.
The two most important artists’ organizations of the time, SIM and Pelukis Rakyat, operated from their headquarters in Yogyakarta. According to Claire Holt there were no “no fitting “isms” available at that time to describe the variety of their artistic style, not least “Indonesianism””. Works from this period is marked by the relationship between Society and Nature; one can easily distinguish an artist from the other through their respective working methods and ideological orientation.

Two of the biggest art patrons in the 1950’s were Soekarno and PKI (Partai Komunis Indonesia or Indonesian Communist Party), who share LEKRA’s ideologies. Soekarno’s definition on nationalism is Marhaenist Nationalism, while PKI’s nationalism is Communist nationalism, commonly referred to as “People’s Marxism” by many observers.

A Dutch scholar, Saskia Eleonora Wieringa (1999) in Penghancuran Gerakan Perampuan di Indonesia believed that the populist ideology of Soekarno’s Marhaenism emphasized on homogeneity and mutual cooperation. Revolution is the dream of an everlasting struggle. The sentiment of nationality is shaped by this condition, to face the common enemy, the colonial Dutch, overlooking the difference between the cooperating factions. Soekarno’s populism is based on his charismatic leadership, aimed at creating mythical unity to defend against external threats. In the mean time, PKI focused on class struggle, even though its ideology was not as steadfast as Marxism as expected, considering its Communism roots). The PKI leaders focused mainly on building a tremendous base of mass supporters from all over the country, instead of building a party whose cadres were educated, eloquent, dedicated and consistent in working on class struggle. By creating this huge “communist family”, PKI extracted certain elements of Javanese values, such as harmony, which was also a foundation of Soekarno’s Marhaenism.

President Soekarno, in his enthusiasm in collecting diverse works of arts since the 40’s, also played a role as one of the biggest patron of artists. Pierre Labrousse (1994) in “The Second Life of Bung Karno: Analysis of the Myth (1979-1981)” writes that Soekarno once said, “Buying and collecting paintings and works of arts are not comparable with collecting jewellery or accumulating gold… collecting works of arts means preserving authentic national legacy.” Though Soekarno’s taste may not always be as consistent as they may seem, it was nonetheless respected and often became the “benchmark” for what artists understood as the “Indonesian emotion” and “authentic national legacy”.
Edhi Sunarso, sculptor and a member of Pelukis Rakyat, relates how Soekarno played his role as the inspiration for his monumental projects. Edhi says, “Back then, I was working on the Monumen Dirgantara project. I had various designs to show, but none satisfied Bung Karno. Then he said to me, ‘we haven’t the means to manufactures any planes, least of all the fighting kind, but during revolution, we have all the courage to fly them. So make a statue that evokes this spirit of courage. That’s all we’ve got. Once again, what have we got? We have spirit. We have Gatutkaca!” Then he posed like Gatutkaca right in front of me, “Hurry! Make the sketch. Here, like this!” he said. Then there it was, I made the statue”.

The most influential sanggar (or art sanggar-cum-commune) such as SIM and Pelukis Rakyat depended partly on Soekarno’s version of nationalism, and partly on PKI’s version. Due to their members’ involvement in PKI’s activities, these sanggar were often called “left-wing sanggar”. The truth is, the political attitudes among their members remained diverse because they had never imposed any particular political attitude towards them. This is not the case with the later sanggar like Bumi Tarung, for example, which forced its members to take up LEKRA membership as well.

Compared to the the-association-of-professionals-looking Persagi, other associations had a more traditional bind –such as sanggar and etc-- towards their members. These sanggar resembled the kind of education developed in Taman Siswa, except that it was run with a looser rule. The leaders and the young, unmarried painters normally lived in these sanggar. The learning process at the sanggar was based on the principle of togetherness and so the leaders and senior painters would mentor the juniors.

A sanggar would receive their income from the sales of at art fairs and other instances, as well as donations from the government. These were spent on basic materials required to run suchinitiatives. A SIM member, Hendra Gunawan, left the sanggar because he disagreed with the organization’s subsidy distribution policy that they received from the government. Sudjojono emphasized on categorization according to members’ merit --classifying them into four class: A, B, C and D, based on their achievements and position as an artist. Hendra strongly oppose this model and demanded a classification scheme based on the status, either familial or marital, of all members. In his demand, he stated that married members should receive 200 rupiahs per month, while the unmarried ones, 100 rupiahs,; their merit as artists shouldn’t count. This disagreement was recorded by Claire Holt.

Hendra Gunawan left and founded Pelukis Rakyat and applied his ideal system there. On the rare occasion when it did not make enough money, Hendra or Affandi would dip into their private funds to keep their sanggar running. In fact, according to Edhi Sunarso, Hendra’s wife would sometimes sell her batik clothes to help with funding.

With all the good reputation he had enjoyed during the times when he led Persagi, Sudjojono, held a high steady position in the history of modern fine arts of Indonesia. Agus Darmawan T reports (“Hendra Gunawan dan Pikiran-pikiran yang Terempas”, Kompas, Oct 5, 2001) that Hendra Gunawan once acknowledged Sudjojono as the artist “who brought Indonesian fine art to new heights, and, to where it rightfully should be”. Claire Holt describes Sudjojono as “a versatile, determined and eloquent man, whom, at the same time, is torn between art and politic”. Holt believes Sudjojono had acquired a good education under the Dutch regime and had read European philosophy and literature. Is it no wonder then, Sudjojono, with such a background, would urge artists to be politically conscious and praised Picasso and Diego Rivera as role models. He firmly believed that arts must be devoted to the cause of social and political struggle.

However, Holt might be wrong in saying that Sudjojono began to support communism after the Independence war or during the 50’s, at least if that conclusion is to be deducted from testimonials by Oey Hay Djoen, Joesoef Isak, Sobron Aidit and Basuki Resobowo. In a discussion just outside the Jaringan Kerja Budaya headquarter in Jakarta, Oey Hay Djoen, once a member of Central Secretary of LEKRA said that Sudjojono had been a communist since 1945. Joesoef Isak, a leading journalist, gave another hint that by the end of the 40’s Sudjojono had aligned his sympathy with the communists. Joesoef said, as reported by Hafis Azhari in Biografi Joesoef Isak (draft of the book, unpublished), that after the Madiun Incident in 1948, which ended with the execution of Musso and the arrest of Amir Sjarifudin, Sudjojono met with Soekarno in Yogyakarta. At that time, the Dutch had just released Soekarno from exile in Bangka Island. Even during those dire times, Soekarno could not resist the temptation of owning a painting by Sudjojono. Both men agreed to exchange painting with clothes. Sudjojono then looked at Soekarno in the eyes and asked in Dutch:

“Mas Karno, ben jij nog steeds een Marxist?”

Soekarno seemed a little offended by that and retort, “Naturlijk Jon Ik ben nog steeds een Marxist!”

Sudjojono then ask, “En waarom blijtbt je maar stil, terwijl jouw vrienden die Marxisten waren doodgeschoten werdwn?”

Meaning:

“Mas Karno, are you still a Marxist?”

“Naturally, I am still a Marxist!”

“Then, why did you let your comrades get shot dead?”

This last question struck Soekarno deeply. He remained stunned for some time and finally broke into tears.

Sudjojono’s sympathy towards communism might have been sparked since the 30’s or even before. Sobron Aidit records in “Taman Siswa” (unpublished) that Taman Siswa back then was like a lair for PKI members; Sudjojono was educated there and eventually returned to lecture there.

Basuki Resobowo’s (2005) testimonial “Bercermin Dimuka Kaca: Seniman, Seni dan Masyarakat” about his meeting with Sudjojono in 1936, also gives a similar picture of Sudjojono intimate relationship with the ideology. Basuki relates, “I knew he’d come back from his journeys overseas. I came to him and asked, ‘Why you had come back so soon! How far did you go?’ In typical Sudjojono habit, upon seeing his good friend, he happily dragged his sleeves to a nearby inn to drink coffee and have a long, nice talk. He told him, “I only went as far as Singapore. I cancelled the plan to go to Europe. In Singapore I met some Indonesian expatriates who advised me to go back to the country instead of wasting my time there. Youths are needed during times like these, when war is imminent in Indonesia’. With the belief of an artist, he went on, ‘They’ve got a point there. Artists must not be apathetic, we must take part in the crucial political developments in the history of the Indonesian people.’ Sudjojono believed that time and place played a part in the process of creation of a work of art, though not a determining component.

If this talk between Basuki and Sudjojono had taken place in 1936, then chances are this meeting in Singapore with the “Indonesian expatriates” had influenced Sudjojono’s ideology during the Persagi era. The identity of these “Indonesian Expatriates” remain a mystery, but it must be noted that Singapore, during those times, was an escape for activists, especially the communist activists who sought refugee after failed communist coups from 1926 to 1927 when PKI was given verdict as a forbidden party.

Hendra Gunawan, on the other hand, was different from Sudjojono. Holt described Hendra Gunawan as “more open-minded and not as dogmatic as Sudjojono”. Hendra Gunawan had been interested in the integration of arts and politics before the 50’s. In Agus Hermawan T’s records, he paid his respects to Sudjojono and admits, “If I were to tell the truth about the person who brought Indonesian fine arts to new heights, then, that man is Sudjojono. Thanks to this fellow many painters learnt the lesson, in person or by other people. He believed that an artist must not just stand there; He must not be passive. An artist must organize himself as not to turn all his attention to simply creating while ignoring other movements, as these movements are essential in generating a revolution. That’s the least of it.”

Hendra explored further on the existence of an artist in the middle of a revolution and his position in politics. He said that SIM, Penulis Rakyat, and the individuals like Soerono, made passionate posters to advance the revolution. This made Dutch artists to question the local community in a hardened tone:
“Must you get involved with politics?’

Hendra Gunawan answered, “That’s right. We must…. Politics that is wrong will bend arts. And the right politics will nurture the arts.”

The important position that sanggars as SIM and Pelukis Rakyat occupied in the development of art was then brought to the recently art schools founded in Yogyakarta. The sanggar painters played a significant role in the art schools for a time. The most important art schools in Indonesia in the 50’s are the Academy of Fine Arts of Indonesia (ASRI, Akademi Seni Rupa Indonesia) in Yogyakarta, founded in January 1950, and the Department of Architecture and Fine Arts of Bandung Institute of Technology (ITB, Institut Teknologi Bandung).

Most lecturers were sanggar painters and had no academic background in ASRI and was said to have fashioned their teaching methods after the sanggar model. The school lacked studio spaces so painting sessions had to be done in the outside. The academy also saw to it that its teachers not only taught artistic skills but also imparted their political understanding and attitudes to their students. Some influential teachers like Sudjojono, Affandi, Hendra Gunawan, Abdulsalam, Harijadi, Suromo, Trubus and Ng. Sembiring succeeded in persuading their students to join SIM, Pelukis Rakyat, or LEKRA, and even PKI. As “Western” art and techniques only made their way into the classrooms in the mid 50’s, it did not hold the same influence to war-time art as compared to the sanggar teachers.

In Bandung, according Holt, “the artists were conquered by art itself”. Art schools in Bandung already had excellent studios and classrooms. Art education was taught according to the Western model. Compared to the more politically inclined Yogyakarta, Bandung was more interested in methods and theories of aesthetics. The most influential teacher in Bandung is Dutch painter, Ries Mulder. In Holt’s reports, Mulder described his teaching method as providing an introduction to the formal visual language in its widest possible sense, the possibility of line, tone, color, shape and space, and their function in artistic expression as applied during the different periods in different parts of the world.
Mulder admitted, “in criticizing my students work, apart from formal and technical advice, I limit myself from the development of their personal efforts in developing their work. It’s a fact I fully realize that the element of personal influence is inevitable, but nobody with profound knowledge of the situation developing here, will deny that I had managed to control these influence to the extent that it can work indirectly. My students influence one another on a stronger level compared to my influence on them”.

Mulder further told his students, “You are free to find yourselves without obstacles, or prejudice, or sentiments without daily pressures that you are ‘Indonesian’. Why would you hide this independence from other people?’
Helena Spanjaard (1990), in her “Bandung, the Laboratory of the West?” called the works of Ries’ students --Ahmad Sadali, But Mochtar, Popo Iskandar and Mochtar Apin, among others-- as “Ries Mulder’s cubism”. After the mid 50’s the works of these Bandung painters were becoming more diverse in terms of their form and content but they generally painted in abstract style.
Artists from Yogyakarta would often say that the work of Bandung painters --Ries’ students-- lacked ideological content. They called the works by Bandung artists “Western art” that was individualistic and tended to be abstract expressionists whereas Yogyakarta’s art is “Indonesian art”, socialist and realist in their expressions. Based on these characteristics, Hendra Gunawan would always claim Yogyakarta as the “center of nationalist art, the stronghold of revolution.”

Observers would generally say that the works of Yogyakarta painters --for example, the works of Hendra Gunawan, Affandi, or Sudjojono--are indeed extraordinary realist and expressionist works. These works are mostly social documentary of the war years against the Dutch, portraying troops, refugees, senior citizens, children, and profound self portraits. Such works are exhibited in the open several times as an acknowledgement of the struggle for independence.

Trisno Sumarjo, an art critic, in his “Bandung Mengabdi Laboratorium Barat” classifies two kinds of modern Indonesian arts: first, spontaneous art, native of the country, born by the spirit and the experience of Indonesia; the other, imitation or artificial arts in the classrooms of Western “laboratories”. Trisno condemns the fine arts in Bandung that are, in his point of view, “shallow”, “bloodless”, and smell like “the air of European laboratories” as the victims of foreign teachers who support modernism. In the mean time, an LKN (Lembaga Kebudayaan Nasional, National’s Culture Organization) ) officer, Sitor Situmorang, believes that Bandung artists have developed a shallow modernism, directly taken from the taste of Western bourgeoisie. Western paintings, he proceeds, are in crisis and are no more than a trick, a game of perspective, composition and color contrast. Modern art has no meaning, delivers no message and doesn’t have the point of view on the world, unlike Yogyakarta paintings. This modern art, he says, is only a visual expression of the private life of the painter and will never fulfill its cultural function in Indonesia.

Other observers are keener to call the arena of Indonesian fine arts during the 50’s as a contest between the concept of “art for the people’s sake” and “art for art’s sake”. The tendency towards Western art as was happening in Bandung is a representation of this art for art’s sake; on the contrary, the high sentiment of citizenship and nationalism in Yogyakarta represented the view of art for the people’s sake. This is one reason why Yogyakarta became perfect place for the growth of LEKRA’s notions.

Pelurusan Sejarah, Mungkinkah?


Oleh F Pascaries

Pulau Buru itu berisi 13 ribu orang. Ada sekitar 23 unit. Masing-masing unit berisi 500 orang. Memang, mereka betul dipekerjakan layaknya budak. Demikian pengalaman di Pulau Buru yang dialami Oey Hay Djoen, salah seorang pegiat Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang sering diasosiasikan sebagai underbouw Partai Komunis Indonesia (PKI).

Oey Hay Djoen lahir di Malang, 18 April 1929. Di usia senjanya, sudah sekitar 30 buku berbahasa Inggris ia terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Kira-kira separuh dari yang aku terjemahkan adalah buku-bukunya Marx dan Engels. Kira-kira 16-18 buku.

Keterlibatan suami dari Jane Luyke (71 tahun) ini dengan PKI dimulai sekitar tahun 1955. Ia, yang baru saja tiba di Jakarta dari Semarang, diminta oleh PKI untuk bersedia dicalonkan sebagai anggota DPR dan Konstituante pada waktu itu. Padahal, pada waktu itu ia sama sekali belum tergabung sebagai anggota partai berlogo palu arit itu. Ia hanya aktivis Lekra.

Tahun 1957 ia terpilih menjadi anggota Sekretariat Pusat Partai. Di PKI tidak ada Ketua. Cuma ada Sekretaris Jenderal, dua orang Wasekjen, lalu anggota Sekretariat Pusat. Dari 11 orang, dengan Yumar Ayub sebagai Sekjen. Oey sendiri waktu itu memegang urusan rumah tangga dan bagian luar negeri.

Dari Salemba ke Pulau Buru
Soal peristiwa pembunuhan tahun 1965 ia mengaku memang tidak tahu. "Aku bengong saja. Pada tangal 1 Oktober baru dengar dari radio, tanya kanan kiri," jelasnya.

Pada 1 Oktober 1965 itu ia terlibat dalam Kongres KIAPMA (Konferensi Internsional Anti Pangkalan Militer Asing) yang ketua konferensinya pada waktu itu adalah Ny Utami Surya Darma. Oey termasuk dalam anggota utusan Indonesia, karena itu adalah forum internasional.

Kegiatan itu diadakan oleh OISRA (Organisasi Internasional Solidaritas Rakyat-rakyat Asia Afrika) yang pusatnya ada di Kairo, Mesir. Utusan Indonesia ini NASAKOM. Bersama, Nyoto (PKI), dan Edi Abdul Rahman (anggota parlemen yang juga Sekjennya Gerakan Perdamaian Dunia, yang kantornya di Jalan Raden Saleh), ia hadir di situ. "Jumlah anggota delegasinya kalau nggak salah 15 orang," katanya.

Konferensi yang diadakan di Bali Room Hotel Indonesia itu berjalan 4-5 hari. Tamu-tamu asing itu pulang tanggal 20 Oktober. Keesokannya, ia disergap oleh anggota Kodim di rumahnya (dulu di Rawamangun), untuk dijebloskan ke Rutan Salemba.

Waktu dibawa ke Kodim itu, ia sempat mau dikumpulkan dengan tahanan lainnya yang sudah ada di gudang belakang sana. Tapi ia menolak dan berkata, "Nggak bisa. Saya ini anggota parlemen, anda mesti minta ijin dulu untuk menangkap saya !" Karena itu, mereka tidak langsung membuang saya ke gudang belakang itu.

Hari berikutnya, ia dibawa dan dimasukkan ke Markas Polisi Militer Jalan Guntur Jakarta Selatan (tahu kan ?). Tengah malam ia dimasukkan ke Salemba lagi.

Esok harinya, setelah terang, baru ia dipindahkan ke blok R. Di situ ia bertemu Pramoedya Ananta Toer, Hasyim Rahman, dan banyak lagi yang ditangkap sebelumnya, sekitar tanggal 17 Oktober .

Sampai tahun 1969 ia ditahan di Salemba. Tahun 1979 bersama rombongan pertama ia dibuang ke Pulau Buru, setelah melewati sebulan di Nusakambangan. Kemudian, dengan kapal ia dibawa ke Pulau Buru.

Rombongan pertama ini memang berisi orang-orang penting. Seperti Pram, Redaktur harian Rakjat, Supit, anggota-anggota CC (Comite Central), dan pelajar-pelajar dari Jawa Tengah, Jawa Timur. Yang pasti jumlah mereka 500 orang. "Nomor punggungku waktu itu 001 sedangkan Pram 007," ia mengenang.

Kedatangan mereka ke Pulau Buru, semula dirahasiakan, begitu juga seluruh perjalanan mereka. Baru belakangan diumumkan, bahwa mereka ditempatkan di Tefaat (tempat pemanfaatan) Buru.

Jadi, mereka (tentara) sudah berencana membuang para tapol itu dan memanfaatkan tapol menjadi budak. Jadi, seluruhnya memang keputusan tentara, yang memang berkuasa sejak adanya Kopkamtib itu.

"Kami diberitahu di sana, pokoknya kalian tidak akan pulang. Kalian hanya meninggalkan nama," ia menirukan tentara yang menjaga mereka di sana.

Mereka hidup dengan menanam padi, jagung, atau apa saja, bahkan menebang hutan, membuat minyak kayu putih dan sebagainya. "Itu semua dipakai (dieksploitasi) oleh tentara, " ia bercerita.

Ia menyarankan, kalau sempat, cari saja di surat-surat kabar di tahun 1970an. Di situ kita bisa temukan bahwa mendadak sontak Maluku mendadak jadi lumbung padi nasional.
Waktu pulau itu kami tinggalkan tahun 1979, sudah ribuan hewan yang sudah mereka ternak, ribuan hektar yang sudah menjadi sawah. Semua itu lalu dimanfaatkan oleh militer, dijadikan daerah trasmigrasi. Sampai sekarang, masih ada sejumlah eks tapol (ET) yang tinggal di sana, hidup berkeluarga.

Berbaur dengan Masyarakat
Para tahanan di Pulau Buru mengalami diskriminasi dengan embel-embel ET. Ia berkisah, mereka betul-betul diisolasi dari penduduk setempat. Sebelum ia dan rombongan pertama tiba di pulau itu, penduduk setempat sudah dijejali pikiran untuk tidak mendekati para tapol itu. Karena, tapol digambarkan sebagai pembunuh, pencuri, dan penjahat. "Jadi, penduduk pun juga takut terhadap kami," ia masih mengingat. Para tapol sangat berhati-hati, dan hanya bertemu dengan penduduk pada malam hari.

Para tapol itu memang dididik secara politik dan punya ideologi. Artinya, punya teori dan sebagainya, dan mereka terbiasa untuk kerja kolektif. "Dan kami tahu bahwa yang terpenting, jangan sampai terpisah dari rakyat," katanya.

Proses asimilisi yang pada awalnya memang tertutup, memakan waktu sekitar tiga tahun. Hingga akhirnya, Oey dan kawan-kawan bisa membuat suasana sedemikian rupa, sehingga bukan mereka (tapol) yang mengunjungi penduduk, tapi sebaliknya.

"Mereka pergi ke ladang-ladang kami, kami ajari mereka bagaimana bertani, bercocok tanam," katanya. Penduduk asli di sana yang masih primitif itu hanya hidup dari hasil mukul sagu, membuat tepung sagu. Seminggu, atau untuk beberapa lama, mereka menganggur tidak bekerja. Juga mencari ikan di rawa.

Setelah beberapa tahun, para warga sekitar bisa menjanjikan radio buat para tapol. Oey dan kawan-kawan datang setiap malam, jam-jam tertentu, untuk menyetel radio, tetap kucing-kucingan. Banyak anak-anak di sana yang sampai sekarang jika ditanya ingin jadi jadi apa, akan menjawab kompak, " Jadi tapol !". Karena, mereka melihat tapol sebagai orang yang serba bisa.

"Jadi, dengan cara-cara itulah. Cara-cara manusiawi yang biasa saja. Bukan dengan datang mereka, membuat mereka sadar polik. Halah....... omong kosong, " tutur Oey.

Pembutaan Sejarah
Ia bebas dari pembuangan pada tahun 1979. Ternyata, sejak ia ditangkap, rumahnya di daerah Rawamangun Jakarta Timur diduduki oleh satu kompi tentara. Rumah itu dijadikan tempat tahanan sekaligus tempat tinggal. Mereka mengusir istrinya, namun Ny Oey tetap bersikeras untuk tidak mau keluar dan tetap melawan.

Baru tahun 1979, ia mendapatkan kembali rumah itu. Salah satu petinggi ABRI pada waktu itu yang kenal dengan menantunya yang memungkinkan itu terjadi. Menantunya itu memberanikan diri dengan berkata "Pak, rumah mertua saya diduduki oleh tentara." Ternyata, petinggi militer itu langsung mengutus ajudannya untuk mengurus.

Ia menganggap, segala sesuatu terkait rekonsiliasi adalah omong kosong. Jangankan soal peristiwa yang sudah terjadi 40 tahun lebih, kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi di masa orba pun banyak yang menguap begitu saja.

Oey berharap peristiwa 1965 jangan dianggap sebagai kejadian yang unik. Tapi, ia mengakui bahwa di tahun-tahun itu jumlah rakyat yang mati memang luar biasa besar. "Tapi, apa yang krusial itu juga unik? Tidak. Karena yang lain juga sama sebetulnya," tambah Oey.

Menurutnya, masalah terpenting bukan bagaimana mengampuni Soeharto. Cukup ada pengakuan bahwa memang telah terjadi kejahatan negara terhadap rakyatnya. Ia khawatir jika ini (peristiwa 1965) dianggap unik, akan terjadi pembutaan sejarah yang membodohi rakyat.

Singkatnya, menurut Oey, selama masih ada kekuasaan seperti ini, tidak akan terjadi pelurusan sejarah. Yang akan terjadi adalah supaya kita itu melupakan. Kita diajak untuk supaya seakan-akan melihat ke depan.

Peduliah pada Sejarah!
Buat orang muda, ia cuma bisa mengatakan, "Pedulilah pada sejarah, pada masyarakat, pada nasib bangsamu. Pokoknya, kejar ilmu pengetahuan. Dan, dalam menghadapi ilmu atau apa saja, pegang satu hal: bersikaplah kritikal !. Pokoknya, jangan percaya pada yang sudah 'dipatok-patok' itu. Sebab itu berarti habisnya ilmu, habisnya hidup ini. Sebab tidak ada sesuatu yang mutlak," ia menjelaskan dengan berapi-api.

Apalagi ini angkatan muda yang bebas, bisa mengenyam pendidikan, punya hubungan dengan luar negeri. "Jadi, mereka jadi orang paling peka dan tanggap soal-soal sosial," katanya. Jangan berharap dari pemerintah, harus dari kita sendiri. Bangun solidaritas, kenyataan bahwa semua kejadian itu adalah one and the same: konflik vertikal antara kekuasaan antara kekuasaan dengan sebagian rakyatnya. "Kalau begini, rakyat harus bersatu untuk menunjuk pelaku kejahatan yang satu itu. Kan sekarang nggak ada yang mengusahakan. Paling-paling oleh Tim Relawan Kemanusiaan (TRK) yang pernah mengadakan pertemuan-pertemuan yang mengundang orang-orang dari Talangsari, Aceh dan sebagainya. Tapi, belum jadi gerakan," ia prihatin.

Stagnasi Dan Kemajuan Marxisme


Rosa Luxemburg
(1903)

Dalam ceramahnya yang dangkal tetapi pada waktunya menarik, berjudul Die soziale Bewegung in Frankreich und Belgien (Gerakan Sosialis di Perancis dan Belgia), Karl Gruen secara tepat menyatakan, bahwa teori-teori Fourier dan Saint-Simon mempunyai pengaruh-pengaruh yang sangat berbeda atas para pengikut mereka masing-masing. Saint-Simon adalah leluhur spiritual dari suatu generasi lengkap para penyelidik dan penulis yang piawai di berbagai bidang aktivitas intelektual; tetapi para pengikut Fourier adalah, dengan beberapa pengecualian, orang-orang yang secara membuta membeo kata-kata pemimpin/guru mereka, dan tidak mampu membuat kemajuan apa pun bagi ajarannya. Penjelasan Gruen mengenai perbedaan ini adalah, bahwa Fourier menyajikan dunia dengan suatu sistem yang tuntas-jadi, diuraikan dalam semua rinciannya; sedangkan Saint-Simon cuma melemparkan seberkas-lepas pikiran-pikiran besar pada para muridnya. Sekalipun bagiku Gruen agaknya memberikan terlalu sedikit perhatian pada perbedaan internal, perbedaan mendasar di antara teori-teori kedua otoritas klasik di bidang sosialisme utopian ini, aku merasa bahwa dalam keseluruhannya pengamatan itu tepat adanya. Tidak menyangsikan lagi, sebuah sistem gagasan-gagasan yang hanya digambarkan dalam garis-garis besarnya terbukti jauh lebih merangsang daripada sebuah struktur yang selesai dan simetris yang tidak memerlukan tambahan apapun dan tidak menawarkan suatu kelawasan (scope) bagi usaha bebas suatu pikiran yang aktif.
Apakah ini yang menyebabkan stagnasi dalam doktrin Marxisme, yang telah dicanangkan selama sekian banyak tahun? Kenyataan aktualnya adalah-bahwa, kecuali satu atau dua kontribusi bebas yang menandai suatu kemajuan seorang teoretisian (ahli teori)-sejak publikasi volume terakahir Modal dan yang terakhir dari tulisan-tulisan Engels, tiada terbit apapun yang lebih daripada beberapa populerisasi dan pemaparan yang bagus mengenai teori Marxis. Substansi teori itu tetap sebagaimana yang ditinggalkan oleh kedua pendiri sosialisme ilmiah itu.
Apakah ini dikarenakan sistem Marxis telah mengenakan secara terlalu kaku sebuah kerangka-kerja atas aktivitas-aktivitas pikiran independen?
Tidak dapat disangkal bahwa Marx telah mempunyai suatu pengaruh yang membatasi pengembangan teori secara bebas oleh murid-muridnya. Marx maupun Engels menganggap perlu untuk menolak bertanggung-jawab atas ucapan-ucapan banyak dari mereka yang menyebut dirinya Marxis! Usaha yang seksama agar tetap dalam batas-batas Marxisme kadangkala mungkin sama celakanya bagi integritas proses berpikir seperti ekstrem lainnya-penolakan sepenuhnya terhadap pandangan Marxis, dan tekad untuk memanifestasikan kebebasan pikiran tanpa peduli segala resikonya.
Walaupun begitu, hanya yang menyangkut masalah-masalah ekonomi kita berhak berbicara tentang suatu batang-tubuh doktrin-doktrin yang kurang-lebih terurai secara lengkap yang diwariskan oleh Marx pada kita. Yang paling berharga dari semua ajaran-ajarannya, konsepsi materialis-dialektik tentang sejarah, hadir bagi kita sebagai tidak lebih daripada sebuah metode penyelidikan, sebagai beberapa pikiran pengarahan yang mengilhami, yang menawarkan kilasan-kilasan pandangan pada kita ke dalam suatu dunia yang sama-sekali baru, yang membukakan pada kita perspektif-perspektif yang tiada batasnya mengenai aktivitas independen, yang menyayapi semangat kita bagi penerbangan-penerbangan yang berani ke dalam wilayah-wilayah yang belum dieksplorasi.
Walaupun begitu, bahkan di wilayah ini, dengan beberapa kecualian, warisan Marxis masih dangkal adanya. Senjata baru yang ampuh itu berkarat karena tiada dipakai; dan teori mengenai materialisme historis tetap tidak teruraikan secara lengkap dan sekedar garis-garis besar (sketchy) seperti ketika pertama kali dirumuskan oleh para penciptanya.
Maka, tidak dapat dikatakan bahwa kekakuan dan kelengkapan bangunan Marxis itu menjadi penjelasan mengenai gagalnya para penerus Marx untuk melanjutkan bangunan itu.
Kita sering diberitahu bahwa gerakan kita tidak memiliki orang-orang berbakat yang mungkin berkemampuan untuk menguraikan lebih lanjut teori-teori Marx. Kekurangan seperti itu, memang, sudah ada sejak lama; tetapi kekurangan itu sendiri menuntut suatu penjelasan, dan tidak dapat dikemukakan untuk menjawab pertanyaan pokoknya. Kita mesti ingat bahwa setiap kurun-jaman membentuk material manusianya sendiri; bahwa, apabila di sesuatu periode terdapat suatu kebutuhan sejati akan eksponen-eksponen teoritis, maka periode itu akan menciptakan kekuatan-kekuatan yang di persyaratkan untuk pemuasan/pemenuhan kebutuhan itu.
Tetapi, adakah suatu kebutuhan sungguh-sungguh, suatu tuntutan efektif, bagi perkembangan lebih lanjut dari teori Marxis?
Dalam, sebuah karangan mengenai kontroversi antara Ajaran-ajaran Marxis dan Jevonsian di Inggris, Bernard Shaw, eksponen berbakat dari semi-sosialisme Fabian, mengejek Hyndman karena telah mengatakan bahwa volume pertama Modal telah memberikan padanya suatu pemahaman lengkap akan Marx, dan bahwa tiada terdapat celah-celah (gaps) dalam teori Marxis-sekalipun Friedrich Engrels, di dalam prakata volume kedua Modal, kemudian menyatakan bahwa volume pertama dengan teorinya tentang nilai, telah membiarkan tidak terpecahkan suatu masalah ekonomi yang fundamental, yang pemecahannya tidak akan diberikan sebelum volume ketiga diumumkan. Shaw jelas berhasil membuat posisi Hyndman tampak menertawakan sekali, walaupun Hyndman bisa saja menghibur diri dengan kenyataan bahwa boleh dikata seluruh dunia sosialis berada dalam perahu yang sama!
Volume ketiga dari Modal, dengan pemecahan masalah mengenai tingkat laba (masalah dasar dari para ahli ekonomi Marxis), tidak terbit sebelum tahun 1894. Seperti halnya di Jerman, seperti di semua negeri lain, agitasi telah dilakukan dengan bantuan material yang belum selesai yang dikandung di dalam volume pertama; doktrin Marxis telah dipopulerisasi dan mendapatkan penerimaan berdasarkan volume pertama ini saja; keberhasilan teori Marxis yang tidak lengkap itu memang sangat fenomenal; dan tidak seorangpun menyadari bahwa terdapat sesuatu celah di dalam ajaran itu.
Selanjutnya, ketika volume ketiga akhirnya terbit, sementara pada awalnya ia menarik perhatian di kalangan-kalangan para ahli yang terbatas, dan menimbulkan sejumlah komentar tertentu-sejauh yang mengenai gerakan sosialis secara keseluruhan, volume baru itu boleh dikata tidak mengesankan bagi wilayah-wilayah luas di mana gagasan-gagasan itu dibahas dalam buku asli itu telah menjadi dominan. Kesimpulan teoretikal dari volume 3 hingga kini tidak menimbulkan usaha apapun ke arah populerisasi, mereka juga tidak menjamin penyebar-luasan. Sebaliknya, bahkan di kalangan kaum social democrat kadangkala kita mendengar, dewasa ini, penggemaan-kembali kekecewaan dengan volume ketiga Modal yang begitu sering disuarakan oleh para ahli ekonomi burjuis-dan dengan demikian kaum sosial demokrat ini cuma sekedar memperlihatkan betapa sepenuhnya mereka menerima pemaparan tidak lengkap teori tentang nilai yang disajikan dalam volume pertama.*)
Bagaimana kita dapat menerangkan suatu gejala yang demikian luar-biasa? Shaw, yang (dengan mengutip ungkapannya sendiri) suka menertawakan orang-orang lain, mungkin saja sangat beralasan di sini, untuk menertawakan seluruh gerakan sosialis, sejauh itu didasarkan pada Marx! Tetapi, kalau ini yang dilakukannya, ia akan menertawakan manifestasi yang sangat serius/gawat dari kehidupan social kita. Nasib ganjil dari volume kedua dan ketiga dari Modal merupakan bukti paling menentukan dari nasib umum penelitian teoretikal gerakan kita.
Dari sudut-pandang ilmiah, volume ketiga dari Modal mesti, jelas sekali, terutama dipandang sebagai pelengkapan kritik Marx atas kapitalisme.Tanpa volume ketiga ini kita tidak dapat mengerti, baik hukum mengenai tingkat laba yang benar-benar dominan; maupun pecahnya nilai-lebih menjadi laba, bunga dan sewa; atau bekerjanya hukum nilai di dalam bidang persaingan, Tetapi, dan ini masalah yang terutama, semua masalah ini, betapapun pentingnya dari sudut pandang teori semurninya, dalam perbandingan adalah tidak penting dari sudut pandang praktis dari perang kelas. Sejauh yang mengenai perang kelas, masalah teoritis yang fundamental adalah asal-usul nilai lebih, yaitu, penjelasan ilmiah mengenai eksploitasi; bersama dengan penjelasan mengenai kecenderungan-kecenderungan pada sosialisasi proses produksi, yaitu, penjelasan ilmiah mengenai landasan objektif revolusi sosialis.
Kedua masalah ini telah dipecahkan di dalam volume pertama Modal, yang mendeduksi perampasan terhadap kaum perampas sebagai akibat tidak terelakkan dan kesudahan produksi nilai-lebih dan dari konsentrasi progresif dari modal. Dengan itu, sejauh yang mengenai teori, kebutuhan pokok gerakan pekerja dipenuhi. Kaum buruh, yang terlibat aktif di dalam perang (perjuangan) klas, tidak mempunyai kepentingan langsung dalam persoalan bagaimana nilai-lebih didistribusikan di kalangan masing-masing kelompok penghisap; atau dalam persoalan bagaimana, di dalam proses distribusi ini, persaingan menimbulkan penataan-kembali produksi.
Itulah sebabnya mengapa, bagi kaum sosialis pada umumnya, volume ketiga Modal tetap merupakan sebuah buku tidak terbaca. Tetapi, di dalam gerakan kita, yang berlaku bagi doktrin-doktrin ekonomi Marx, berlaku pula bagi penelitian teoritis umumnya. Merupakan ilusi semurninya untuk menganggap bahwa klas pekerja, di dalam gerakan pasangnya, dapat atas kemampuan sendiri menjadi tak-terhingga kreatifnya di dalam wilayah teoritis. Benar bahwa, seperti dikatakan oleh Engels, kaum buruh saja yang dewasa ini memelihara suatu pemahaman akan dan kepentingan dalam teori. Hasrat kaum buruh akan ilmu-pengetahuan merupakan salah-satu dari manifestasi kultural yang paling mencolok dewasa ini. Secara moral, juga, perjuangan klas-pekerja menandai renovasi kultural masyarakat. Tetapi partisipasi aktif kaum buruh di dalam derap-maju ilmu sangat bergantung pada pemenuhan kondisi-kondisi sosial tertentu.
Dalam setiap masyarakat berkelas, kultur intelektual (ilmu pengetahuan dan keahlian) diciptakan oleh klas yang berkuasa; dan tujuan kultur ini adalah sebagian untuk menjamin pemuasan langsung kebutuhan-kebutuhan proses sosial, dan sebagian lagi untuk memuaskan kebutuhan-kebutuhan mental para anggota klas yang memerintah.
Dalam sejarah perjuangan-perjuangan kelas sebelumnya, klas-klas yang beraspirasi (seperti Golongan Ketiga masa baru-baru ini) dapat mengantisipasi kekuasaan politik dengan menegakkan suatu dominasi intelektual, sejauh-sementara mereka masih merupakan klas-klas yang ditundukka--mereka dapat membangun suatu ilmu baru dan suatu keahlian baru terhadap kultur yang sudah ketinggalan jaman dari periode dekaden itu.
Proletariat berada dalam suatu kedudukan yang sangat berbeda. Sebagai suatu klas yang tidak-bermilik, ia tidak dapat dalam proses pasangnya perjuangan secara spontan menciptakan suatu kultur mental mereka sendiri, sementara ia tetap berada dalam kerangka masyarakat burjuis. Di dalam masyarakat itu, dan selama landasan-landasan ekonominya bersikukuh, tidak bisa ada kultur lain kecuali suatu kultur burjuis. Sekalipun para profesor sosialis tertentu mungkin menyoraki pengenaan dasi, penggunaan kartu-kartu nama, dan mengendarai sepeda oleh kaum proletar sebagai contoh-contoh yang patut diperhatikan mengenai partisiupasi dalam kemajuan kultural, kaum pekerja itu sendiri tetap berada di luar kultur sejaman/kontemporer. Walaupun adanya kenyataan bahwa kaum buruh dengan tangan mereka sendiri menciptakan seluruh substratum sosial dari kultur ini, mereka hanya diperkenankan menikmatinya sejauh perkenan seperti itu dipersyaratkan untuk kinerja yang memuaskan dari fungsi-fungsi mereka di dalam proses ekonomi dan sosial dari masyarakat kapitalis.
Klas pekerja tidak akan berada di dalam suatu poisisi untuk menciptakan suatu keahliannya sendiri sampai ia telah sepenuhnya beremansipasi dari posisi klasnya yang sekarang. Paling-paling yang dapat dilakukannya dewasa ini adalah mengamankan kultur burjuis terhadap vandalisme reaksi burjuis, dan menciptakan kondisi-kondisi sosial yang diperlukan bagi suatu perkembangan kultural yang bebas.
Bahkan sepanjang garis-garis ini, kaum buruh, di dalam bentuk masyarakat yang berlaku, hanya dapat maju sejauh mereka-bagi diri mereka sendiri-dapat menciptakan senjata-senjata intelektual yang diperlukan dalam perjuangan mereka untuk pembebasan.
Tetapi pencadangan-pencadangan ini memaksakan pada klas pekerja (yaitu, pada para pimpinan intelektual kaum buruh) batasan-batasan yang sangat sempit di bidang kegiatan-kegiatan intelektual. Wilayah enerji kreatif mereka dibatasi pada satu departemen ilmu-pengetahuan yang khusus, yaitu ilmu pengetahuan sosial. Karena, sejauh berkat kaitan khas dari gagasan Golongan Keempat (Fourth Estate) dengan kurun historis kita, pencerahan yang menyangkut hukum-hukum perkembangan sosial telah menjadi esensial bagi kaum buruh di dalam perjuangan klas, keterkaitan ini telah membuahkan dengan baik sekali dalam ilmu pengetahuan sosial.dan monumen dari kultur proletarian jaman kita sekarang: doktrin Marxis.
Tetapi ciptaan Marx, yang sebagai suatu karya ilmiah merupakan suatu keutuhan raksasa, melampaui tuntutan-tuntutan sederhana dari perjuangan kelas proletar yang untuknya ia diciptakan. Baik di dalam analisisnya yang terinci dan lengkap-menyeluruh mengenai ekonomi kapitalis, maupun di dalam metode penelitian historisnya dengan medan penerapannya yang tiada terhingga, Marx telah menawarkan jauh lebih banyak daripada yang secara langsung esensial bagi prilaku praktis perang (perjuangan) klas itu. Hanya dalam keseimbangan dengan berderap-majunya gerakan kita, dan menuntut pemecahan persoalan-persoalan praktis baru, kita sekali-lagi menimba ke dalam kekayaan pemikiran Marx, agar darinya menimba dan menggunakan fragmen-fragmen baru dari doktrinnya.Tetapi karena gerakan kita, seperti semua kampanye kehidupan praktis, cenderung untuk bekerja terus dalam alur-alur pikiran lama, dan bergayut pada azas-azas setelah azas-azas itu berhenti dalam kesahihannya, maka penggunaan teoretis sistem Marxis itu berjalan dengan sangat lambat.
Maka, apabila dewasa ini kita mendeteksi suatu stagnasi di dalam gerakan kita sejauh yang mengenai masalah-masalah teoritis ini, ini bukanlah karena teori Marxis yang menghidupi kita itu tidak mampu berkembang atau telah menjadi ketinggalan-jaman. Sebaliknya, adalah karena kita belum belajar bagaimana membuat suatu penggunaan yang sepadan dari senjata-senjata mental yang paling penting yang telah keluarkan dari gudang senjata Marxis berdasarkan kebutuhan mendesak kita akan senjata-senjata itu di dalam tahap-tahap dini perjuangan kita. Tidaklah benar bahwa, sejauh yang menyangkut perjuangan praktis, Marx sudah ketinggalan jaman, bahwa kita telah menggantikan/membuang Marx. Sebaliknya, Marx, di dalam ciptaan ilmiahnya, telah melampaui kita sebagai suatu partai pejuang-pejuang praktis. Tidak benar bahwa Marx tidak lagi mencukupi bagi kebutuhan-kebutuhan kita. Sebaliknya, kebutuhan-kebutuhan kita masih belum sepadan bagi penggunaan gagasan-gagasan Marx.
Demikianlah adanya dengan kondisi-kondisi sosial dari keberadaan proletarian di dalam masyarakat masa-kini, kondisi-kondisi yang pertama kali dijelaskan oleh teori Marxis, membalas dendam dengan nasib yang mereka paksakan atas teori Marxis itu sendiri. Walaupun teori itu merupakan suatu alat kultur intelektual yang tiada bandingannya, ia tetap tidak terpakai karena, sementara ia tidak bisa diterapkan pada kultur klas burjuis, ia sangat melampaui kebutuhan-kebutuhan klas pekerja di dalam persoalan persenjataan bagi perjuangan sehari-hari. Tidak sebelum klas pekerja dibebaskan dari kondisi-kondisi keberadaannya yang sekarang, metode penelitian Marxis itu akan tersosialisasikan berangkaian dengan cara-cara produksi lainnya, sehingga ia dapat sepenuhnya dipergunakan demi keuntungan kemanusiaan seluruhnya, dan dengan demikian ia dapat dikembangkan hingga sepenuh-penuhnya menurut kapasitas fungsionalnya.
Catatan
*) Sebuah karya Grossmann: The Law of Accumulation and the Breakdown of the Capitalist System, terbitan tahun 1930, membahas khusus mengenai teori tentang tingkat laba (the fall of the rate of profit/Jatuhnya tingkat laba) yang memang merupakan inti teori tentang nilai dan sistem kapitalisme.
Penerjemah: Oey Hay Djoen