Kamis, 12 Juni 2008

IN MEMORIAM OEY HAY DJOEN


Beberapa hari yang lalu Indonesia kehilangan empat orang tokoh yakni Sophan Sophian, Oey Hay Djoen (OHD), SK Trimurti dan Ali Sadikin. Pemberitaan di media massa cetak dan elektronik sangat gencar tentang tiga orang. Namun sampai hari ini setahu saya, tidak satu pun media massa yang mengenang OHD bahkan menyebut namanya pun tidak. OHD memperoleh Gus Dur Award tahun 2007 karena berjasa antara lain menerjemahkan karya besar Karl Marx, Das Kapital ke dalam bahasa Indonesia.

Tulisan Hilmar Farid (HF) yang disiarkan melalui internet mungkin satu-satunya tulisan yang agak panjang tentang OHD. Banyak informasi yang belum saya ketahui tentang OHD yang saya peroleh dari in memoriam tersebut. Saya berterima kasih atas terbitnya tulisan HF tersebut, karena penerbitannya merupakan upaya (walau terbatas) untuk melawan diskriminasi yang dilakukan pers nasional. Kalau dikirimkan ke media massa saya yakin tulisan itu tidak akan termuat (dengan berbagai pertimbangan termasuk ketakutan redaksi).

Saya percaya bahwa PKI sebagai organisasi tidak terlibat dalam G30S. Namun saya juga mendukung kesimpulan BK yang disampaikan dalam pidato Pelengkap Nawaksara (tentang keblingernya pimpinan PKI). Kita tentu boleh berbeda pendapat mengenai hal ini. Mengenai ungkapan "PKI, Raksasa Berkaki Lempung" yang dikemukakan oleh Jacques Leclerc dan dikutip oleh HF saya tidak memiliki ilmu dan informasi yang cukup. .
Sebab itu saya lebih senang sebetulnya membicarakan hal-hal yang kecil-kecil saja. Minggu pagi 18 mei 2008 saya ke Cibubur melayat OHD. Sebulannya sebelumnya (tanggal 12 April) saya juga datang ke rumah ini untuk acara "Makan Siang bersama Gus Dur" yang diadakan OHD sebagai ucapan terima kasih atas penghargaan "Gus Dur Award 2007".

OHD berada dalam peti mati dengan pakaian dan benda-benda kesayangannya. Ia berpakaian hitam-hitam, wajahnya tampak bersih dan teduh. Busana yang dikenakannya seperti busana mandarin China (tolong dikoreksi kalau saya keliru). Di bagian atas kepala terdapat dua buah topi cowboy. Mungkin ia ingin menghadap Thian dengan berpenampilan perpaduan Timur-Barat.

Saya pertama kali melihat OHD memakai topi cowboy ini dalam acara pernikahan Amirudin, seorang peneliti ELSAM. Setelah itu juga pernah beberapa kali. Mungkin ada yang bisa cerita tentang topi cowboy ini,sejak kapan dan kenapa OHD senang dengan ikon western ini.

Mungkin bagi mereka yang tinggal di Eropa tidak menjadi soal atau tidak pusing mengenai ini, walaupun bagi orang yang bermukim di tanah air ini bisa mencuri perhatian. Ada dua orang rekan saya (Emmanuel Subangun dan yang lebih belakangan, Muridan Widjojo) yang pulang dari Eropa ke Indonesia dengan membawa dua hal (gelar Doktor dan topi detektif yang dipakai ke mana saja). Saya sudah lama kenal Tossi wartawan radio Netherland melalui email. Ketika pertama bertemu di Jakarta dalam acara peluncuran buku Onghokham beberapa waktu yang lalu, ternyata ia juga selalu memakai topi ala detektif. Pembimbing saya di Perancis, Denys Lombard (seorang sejarawan bukan kiri) gemar sekali di musim dingin, memakai topi ala Rusia yang dibelinya di Moskow.

Mulutmu harimaumu, demikian kata pepatah lama. Ucapan dan tulisan kita menunjukkan kepribadian kita. Tetapi apakah kita mengetahui lebih dalam tentang pribadi seseorang melalui topi?

Tidak ada komentar: